Halaman

Senin, 23 April 2012

TUNAS KE 4 BAJU BEASISWA

Selain aku bekerja sebagai pemulung, jika hari libur tiba aku dan Hasan pergi ke pasar, tentu semua bertanya-tanya untuk apa kesana? kami kesana bukanlah untuk belanja melainkan bekerja sebagai pedagang kantong-kantong plastik atau kuli panggul, hal itu memang sering kami lakukan dan merupakan sebagian dari waktu luang yang kami manfaatkan untuk bekerja mencari uang. Meski tubuhku kecil tapi aku tidak pernah patah semangat mencari uang demi sebuah baju pramuka, yang memang kedengarannya tidak begitu menarik mencari uang hanya untuk sebuah baju pramuka, ya begitulah keinginanku tidak mau jika suatu hari nanati kejadian yang memalukan itu terjadi kembali.

Aku menyukai pekerjaanku saat ini daripada sebagai pemulung karena uang yang aku hasilkan lebih banyak daripada penghasilanku sebagai pemulung. Setiap kantong yang kujual diberi harga Rp.500 perak, meski keuntungan dari menjual kantong ini 100 persen, akan tetapi untuk menjual satu kantong saja cukup lama menunggu membutuhkan waktu  sebanyak beberapa jam.

     "Bu kantongnya bu..."

Suara khas inilah yang sering terdengar di setiap para konsumen yang ditawarkan untuk membeli kantong, aku pula tak ingin kalah dengan mereka apalagi dengan Hasan suaranya menggema disetiap telinga orang yang mendengarnya. Aku mengumandangkannya seraya memeperlihatkan kantong itu kepada orang kebanyakan.

Seharusnya anak seusiaku meikmati masa-masa yang menyenangkan seperti yang lainnya bermain, senda gurau, dan bersenang-senang. Akan tetapi hal itu sulit untuk aku dapatkan karena aku masih mempunyai mimpi yang belum aku dapatkan, untuk orang yang orang tuanya banyak uang tentu untuk membeli baju pramuka saja dapat di belikan tapi aku harus mencari uang itu sendiri dengan cara seperti ini. Begitulah hidup yang kadang-kadang membuat kita merasa tidak adil.

Pasar ini sudah mulai sepi dan sebagian toko sudah tutup sepenuhnya,tubuhku juga terasa lelah dan lemas. Aku hilir mudik mencari Hasan untuk mengjaknya pulang ke rumah. Meskipun tubuhku lelah tapi aku sama sekali tidak ingin pulang dengan menaiki kendaraan, meskipun Hasan sangat memaksakan aku untuk pulang dengan menaiki kendaraan, tapi aku sudah berjanji saat ini targetku hanya satu baju yang berwarna kopi susu dengan celana berwarna cokelat.

Uang recehan yang tergenggam dalam kantong celanaku sangat sayang jika harus di serahkan pada sang supir, sepertinya Hasan pula berpikir demikian maka sejak dari itulah aku dan Hasan sepakat berjalan kaki untuk pulang.

Angin berhembus melawan tubuhku yang tengah berjalan menapaki rel kereta, sering terdengar suara gemerincing dari saku celanaku, hal itu aku hiraukan karena aku sudah benda apa yang menemaniku berjalan. Udaranya sangat sejuk sekali diiringi alunan merdu suara kincir angin yang berdiri bertengger di antara pepohonan yang menjulang. "Sungai yang besar" pikirku, karena sebelumnya aku belum pernah melihat sungai sebesar ini.

Kuberjalan di atas rel dengan hati penuh perasaan tenang atas suguhan yang alam berikan kepadaku saat ini, Hasan berada di belakangku dengan langkah yang tidak seperti biasanya. Rasa lelahku seakan-akan hilang setelah melihat pemandangan yang berada di depan mata ini, hatiku rasanya gembira dan senang untuk berlama-lama di sini. Matahari dengan cahaya yang menguning telah segarkan awan-awan yang berwarna merah jinggga, sungguh cahayanya terasa sangat hangat di tubuhku, ilalang melambai-lambaikan daun-daunnya seiring angin sore menyapunya. Burung walet yang berterbangan di atas kepalaku membuat tidak sungkan menyeringai menatap mereka. Rasanya sungguh sangat rugi jika pemandangan ini aku tinggalkan sebagai tanda perpisahanku dengan siang.

Hasan tampak tidak begitu sangat tapi akhirnya ia juga tertarik juga oleh sungai yang mengalir deras disamping perjalanan kami. Aku menunggunya agar dapat bersama dengannya.

     "Indah bukan pemandangan disini?"
     "Tidak, sepertinya kamu baru datang kesini rupanya."
     "Maksudmu?" aku menatap matanya, tapi ia tetap berjalan kedepan tanpa sedikitpun menoleh kepadaku.
    "Dulu sungai lebih indah dari yang sekarang kamu lihat, yang kamu lihat sekarang adalah sungai sampah yang menjadi sumber segala penyakit," katanya. "Lihat saja pantaskah sungai yang keruh ini di sebut indah, hmm........" ia menggelengkan kepalanya, "lebih tepatnya adalah sungai sampah bukankah begitu Rif?"
     "Hebat sekali bicaramu San, sudah kaya pejabat saja."
   "Pejabat?" jalannnya terhenti ia memandangku dengan pandangan yang aneh buktinya keningnya mengkerut seketika ia menoleh kepadaku, dengan sekejap pula ia langsung mengembalikan pandangannya dan melanjutkan langkahnya. "Kapan pejabat peduli kepada kita? kapan pejabat memperhatikan sungai yang keruh ini, toh didepan mata kamu sendiri kamu dapat buktinya."
     "Rupanya benar juga ucapan Hasan." Pikirku.

Aku menekuk kepalaku dan melanjutkan perjalananku di samping Hasan. Kemudian Hasan mengajakku untuk duduk beristirahat diatas rel kereta api. Setelah beberapa lama kamu duduk dalam kebisuan akhirnya Hasan memecahkan suasana saat itu.

     "Euh, ngomong-ngomong kamu dapat berapa hari ini?"
     Aku mengeluarkan uang recehan dalam saku celanaku sedetail mungkin aku menghitungnya agar tidak satu rupiah pun tertinggal dalam hitunganku. "Sial aku hanya mendapatkan sedikit, lantas bagaiman dengan kamu?"
     "Lumayan...., menurutku hari ini aku lebih dari cukup."

Aku dan Hasan bangkit dari tempat duduk, dengan segera kami bergegas pulang ke rumah. Angin sepoy-sepoy mengantarkan perjalanan kami berdua.
.*.
.*.     .*.

Pagi ini aku sudah bangun dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah, sekolahku tidak terlalu jauh, dan tidak juga terlalu dekat. Setiap pergi kesekolah celana merah milikk satu-satunya ini harus siap-siap aku angkat, minimal tidak kotor, karena jalan yang licin dan kotor membuatku harus rela melakukan hal itu. Angin pagi membuatku bersemangat untuk ke sekolah, dan sawah-sawah itu terlalu indah dari pandanganku, walaupun terkadang membuat baju kotor.

Jika aku  ke sekolah, aku tidak memakai sepatu, terkecuali jika hari senin pada saat upacara bendera yang di selenggarakan rutin di lapangan halaman sekolah, tidak hanya aku sendiri yang tidak memakai sepatu kesekolah sekitar sembilan puluh persen siswa sd kami tidak berlaskan sepatu melainkan sebuah sendal jepit. Guru sdku tidak pernah menegur kami karena memkai sendal jepit karena mereka tahu bahwa kami bukanlah orang yang serba kecukupan bagi kami lulus sd pun sudah lumayan.

Sesampainya di sekolah aku langsung terburu-buru masuk ke dalam kelas, ketika aku masuk kedalamnya cahaya bersinar menyambutku yang mencul dari sebuah jendela berkawat, waktu itu di sekolah kami belum ada jendela yang terbuat dari kaca, tapi beruntunglah waktu itu jadi jika panas datang angin pula datang lewat jendela tanpa kaca itu, tapi jika sebaliknya apabila hujan datang kami harus rela kedinginan saat itu. Atap kelasku terbuat dari bilik yang terlihat sudah lapuk di sana terdapat banyak sarang laba-laba, jarang sekali kami membersihkan atap dan langit-langitnya karena sungguh tidak seutas lidipun tersisa di kelas ini. Tidak ada inisiatif yang di tanamkan dari kami untuk membuat sapu lidi, dan percuma juga jika kami membuat sapu lidi jika sapu itu harus hilang atau di pakai untuk bermain-main oleh teman-teman.

Cahaya yang menyorot itu tiba-tiba lenyap, aku terkejut karenanya. ternyata seorang laki-laki berpostur tubuh kecil ceking dengan kulit sawo matang tengah memaksakan diri masuk melewati jendela bekawat itu, jendela itu memang sudah rusak lubangnya cukup besar, sehingga orang sebesar Hasan dapat masuk ke dalamnya.

Aku menghampirinya, "tidak ada pekerjaan ya?" kataku setengah nyengir, "bukankah pintu itu lebih besar lubangnya?"

"Aku bosan lewat sana terus, kalau lewat jendela ini kan ada tantangannya."

"Ha ha ha, terserah lah."

"Treng-treng" bunyi hentakan lonceng bergema di telinga kami semua, dan demikian pula para siswa berbondong-bondong memasuki kelasnya masing-masing, tidak seorang pun siswa yang masihaberada di halaman sekolah kecuali para yang bergegas masuk kedalam kelas.

"Selamat pagi, ada pengumuman untuk kalian."

"Ahhh........." bisik temanku yang duduk di belakang.

"Yang di sebut namanya ikut bapak ke kantor sekarang juga." Hati semua para siswa seakan-akan bertalu-talu di telingaku, rasa takut, cemas, dan khawatir bersatu padu terasa di kelas kami, semua tampak tercerminkan dari ekspresi para siswa yang merah padam. Pikirku langsung melayang bahwa di kantor terdapat beberapa polisi dan sekawanan anjing pelacak yang siap untuk menyergapku dalam sekejap.

"Arif!" suara seorang guru yang berdiri di depanku ini membuatku terperanjat dan terkejut. Perasaanku semakin tak karuan aku gentar menghadapinya, pada saat itu aku menyesal harus datang ke sekolah aku kan merasa lebih jika harus berada di rumah dan mencari barang bekas untuk mendapatkan sebuah celana pramuka yang aku cari-cari selama ini.

"Arif?, Arif!" suaranya makin menyentak dan membuatku semakin terkejut dan takut.

Aku berdiri, "i iya pak." Dengan langkah yang tidak begitu meyakinkan aku bergegas meninggalkan kelasku.

Sepertinya laki-lakinya hanya kau sendiri saja yang di panggil ke kantor dan yang lainnya adalah kebanyakan perempuan. Sesampainya di pintu kantor semua perempuan terhenti langkahnya, aku sendiri heran kenapa mereka berhenti di depan pintu seperti itu. Perlahan-lahan aku mendekati mereka.

"Ada apa ini?"

"Rif, kamu duluan sana yang masuk." Ucap salah seorang dari mereka.

"Kenapa harus aku." Aku mencoba menolak.

"Kamu kan satu-satunya laki-laki di antara kita."

"Iya juga." Bisik kecilku "tapi..." mereka memandangku seolah-olah memaksaku untuk melakukannya, dengan berat hati aku menuruti apa perintahnya.

"Tok-tok," bunyi ketukan pintu menggetar suara ini untuk mengucapkan salam kepada orang yang berada di dalam ruangan itu.

"Waalaikum salam..." sapa seorang guru yang berada di ruang guru itu, "kalian siswa yang di panggil sama Pak Teddy kan?" tanyanya. Serempak kami menganggukkan kepala tanda kami mengiyakannya. "Begini, kalian berempat mendapatkan bantuan dari sebuah perusahaan atau istilahnya beasiswa, untuk siswa yang berprestasi dan teladan, jadi silahkan isi formulirnya setelah itu tanda tangan di sini." Guru itu menyodorkan sebuah kertas dan sebuah balpoint kepada kami. "Nanti istirahat, kalian ambil beasiswanya." Ujar guru itu.

Kami melongo tak percaya, mendapatkan sebuah kabar yang sangat menggembirakan bagiku tentunya. Setelah bel istirahat berbunyi kami berempat kembali di panggil oleh guru kami untuk mengambil beasiswa tadi. Setelah ku lihat ternyata beasiswa itu tidak berbentuk uang, melainkan barang meskipun begitu aku tidakkecewa karenanya. Jika ini sudah rezekiku kenapa harus di tolak?. Kuterima beasiswa itu dan yang kudapatkan hanya beberapa buku tulis dan seragam merah putih, akan tetapi sesuatu yang mengganjal di penglihatanku.

"Pramuka!." Aku sangat gembira sekali ketika yang kudapati adalah seragam pramuka, meskipun tidak begitu lengkap hanya baju dan celananya saja.
.*.
.*.    .*.

Aku baru tersadar, aku belum ganti pakaianku yang kucel ini. Kusimpan kembali baju pramuka yang kupegang ini. Hari lusa pasti akan menyenangkan untukku. Hari ini sudah mulai sore cahaya matahari pula tampak begitu lelah, angin pula segera beristirahat, akan tetapi kau belum kasih tahu ibu soal ini.

"Bu bolehkan, bu.......?"
"Kalau itu memang baik untukmu Ibu izinkan" senyumku langsung menyeringai, "Akan tetapi jangan terlalu senang dulu, kamu jangan lupa solat!"
"Oke bu!"

.*.
.*.       .*.